Tuesday 8 October 2019

KPK = Komisi "Pelindung" Korupsi?

Sampai saat ini, perdebatan diseluruh ruang publik di republik ini masih sangat kencang hembusan penolakan atas dibentuknya Undang Undang KPK yang baru mengantikan UU No.30 tahun 2002, sampai-sampai gejolak demo mahasiswa baru agak redam akhir-akhir ini karna mungkin "capek" demo hari hari demi dibatalkannya UU KPK dan RUU KUHP.



Tak cuma menyoroti beberapa pasal, desakan masyarakat juga mengharuskan untuk membatalkan UU KPK, katanya agar KPK tidak dilemahkan. Salah satu yang paling ditolak karena hadirnya Dewan Pengawas yang bertugas mengawasai dan memberi ijin pada penyidik KPK untuk melakukan penyadapan pada terduga pelaku korupsi, adapun terkait SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan) dan pegawai KPK harus ASN dan otomatis tunduk pada UU ASN.

Melihat hal ini, secara pribadi saya menerima UU KPK ini, sebenarnya sebelum tulisan ini, saya telah menyatakan ditulisan sebelumnya bahwa memang UU KPK harus segera direvisi, alasannya karena regenerasi hukum dan masalah lainnya.

Menggali lebih dalam, sebagai analisis mendalam saya argumen saya semakin jelas karna bisa anda bayangkan betapa overpower KPK ini.

Indonesia menurut amanat konstitusi yakni UUD 1945, kehidupan bernegara Indonesia khususnya kekuasaan negara terbagi atas 3 poros utama, Legislatif (MPR,DPR,DPD,DPRD), Eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota) dan Yudikatif (MA, MK), ini merupakan teori pembagian  kekuasaan Montesquie ahli asal Prancis.

Tapi pada praktenya, Indonesia tidak mengadopsi teori Montesquie ini secara utuh, lebih cocoknya Indonesia menggunakan asas pembagian kekuasaan, atau biasa disebut Check and Balance dalam penyelenggaraan negara. Maksudnya adalah setiap lembaga negara baik tingkat pusat sampai kedaerah harus saling kontrol, koordinasi dan kerjasama tentunya.

Mari kita lihat, DPR itu dikontrol Eksekutif lewat Sekwan (Sekertaris Dewan) yang merupakan bagian intergral dari Pemerintah Eksekutif atau ia merupakan ASN, diporos Yudikatif ada Sekjen yang merupakan bagian intergral dari Pemerintah Eksekutif. Pun sebaliknya, tugas DPR adalah mengawasi Eksekutif, tugas badan peradilan yakni mengadili lembaga lembaga lain.

Artinya tidak ada satupun lembaga dinegeri ini yang lepas dari prinsip Check and Balance ini, tapi ternyata ada satu lembaga yang secara Lex Specialis lepas dari segala macam batasan dan pengawasan dari ketika poros utama ini, siapa dia? Ya, KPK

Dalam teori kebijakan publik, proses kebijakan itu terdiri dari tiga fungsi utama, pertama Formulasi Kebijakan, kedua Implementasi Kebijakan dan terakhir Evaluasi Kebijakan. Siklus ini berlaku diseluruh organisasi pemerintah bahkan organisasi swasta pun banyak yang mengadopsinya.

KPK karna mendapat kekhususan tadi, ia sendiri yang memformulasi setiap kebijakan, program dan proyek lembaganya, kemudian yang mengimplementasi sudah pasti dan untuk evaluasi seluruh kinerja dan penggunaan anggaran termasuk penanganan kasus adalah mereka sendiri.

Tidak ada badan lain yang bisa impeachment, ataupun mempertanyakan proses penyelenggaraan tugas fungsi sebagai lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi. Begitupula dengan pengangkatan pegawai KPK yang tidak jelas, padahal anggaran untuk operasional KPK sangat besar.

Memangnya kenapa kalau Pegawai KPK tunduk pada UU ASN? Dalam UU ASN pengangkatannya jelas menggunakan Merit System, soal gaji diatur didalamnya, begitupula soal hak dan kewajiban itu seimbang dalam amatan UU ASN ini.

Soal juga SP3, penetapan tersangka tindak pidana korupsi KPK banyak yang tak tuntas secara hukum, ada tersangka yang statusnya hanya tersangka sampai ia mati, jangan sampai orang sudah di kubur statusnya masih tersangka. SP3 ini bertujuan agar ada kepastian hukum dan menggenjot KPK untuk all out dalam penuntasan kasus yang ditangani.

Begitu pula soal Dewan Pengawas, apa yang harus ditakuti kalau KPK bekerja bersih. Perlu diketahui Dewan Pengawas dipilih oleh Pantia Seleksi yang beranggotakan Pemerintah Pusat dan perwakilan masyarakat, wewenang Dewan Pengawas adalah untuk memberi izin pengeledahan, penyitaan dan penyadapan. Intinya Dewan Pengawas ini bukan sembarang caplok, melainkan lewat seleksi dan ada mekanismenya

KPK telah muncul sebagai poros kekuasaan ke-empat, disamping eksekutif, legislatif dan yudikatif, sebab siapa yang bisa mengimpeacment dia? tidak ada jadi luar biasa power yang dimiliki KPK. Jika dibiarkan pasti akan bahaya.

Saya ingin masyarakat melek, jangan menilai keberhasilan KPK dengan berdasarkan seberapa banyak pelaku korupsi yang ditangkap, atau seberapa banyak keberhasilannya dalam meningkatkan pendapatan negara, justru apabila penangkapan lebih sedikit dan indeks korupsi Indonesia semakin turun maka itulah keberhasilan KPK yang sejati.

Kekuasaan yang terlalu besar menimbulkan kesewenang-wenang. Mungkin perlu diingatkan soal penyimpangan yang dilakukan pimpinan KPK tahun 2014 yang menyalagunakan tindak penyadapan, Pimpinan tersebut menyadap percakapan antara petinggi parpol pada waktu penetapan Calon Wapres pendamping Jokowi.

Penyadapan itu soal hak asasi, tidak bisa negara melalui KPK masuk dalam sektor privat warga negara, apalagi kalau digunakan diluar kepentingan penyidikan, seperti kasus penyadapan kepada pimpinan parpol untuk mengetahui pendamping Jokowi di pilpres 2014.

Beginilah, ini ibarat anda menyapu rumah agar bersih, tapi ternyata sapu yang anda gunakan ternyata kotor, bukan bersih malah menjadi lebih kotor.

Ayolah kita sadar, jangan terhanyut oleh euforia semata. Masyarakat akademisi adalah mereka-mereka baca sebelum bicara, berpikir sebelum bertindak dan diskusi sebelum aksi. Bukan teriak-teriak tidak jelas dengan dalih membawah kepentingan rakyat.

Jadi, tidak ada alasan untuk membatalkan UU KPK ini apalagi dengan cara-cara yang inkonstitusional. Jika keberatan pergi ke MK untuk Judicial Review atau ke DPR untuk Legislative Review jangan berteriak, berkoar dan nyinyir yang hasilnya, Nihil

Sekian

No comments: