Tuesday, 13 August 2019
UU Pemilu Harus diREVISI !!!
Atmosfer pemilihan umum serentak masih terasa dikulit kita, Pemilihan umum yang mengikutsertakan seluruh masyarakat Indonesia dalam rangka memilih wakil rakyat dalam pemerintahan yakni pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan anggota Legislatif (DPR, DPD,DPRD) masih lalu lalang dipikiran kita.
Pemerintah mengklaim bahwa Pemilu serentak ini merupakan Pesta Demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia dan patut disukseskkan bersama. Payung hukum pelaksanaan Pemilu serentak ini adalah Undang Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang "Pemilihan Umum". Dalam tulisan ini saya ingin mengajak anda untuk mengevaluasi bersama dasar hukum penyelenggaraan Pemilu serentak ini UU No. 7 tahun 2017, apakah masih cocok dipertahankan lagi sampai Pemilu selanjutnya pada tahun 2024?
Bila kita mengikuti dan melihat penyelenggaraan pemilu serentak 2019 ini, kita dapat melihat berbagai kendala yang dihadapi, bukan kendala yang ringan, tapi sangat berat akibat dari UU 7 tahun 2017 ini, bisa kita lihat dalam ;
1. Prosedur
Pasti sebagian besar dari anda yang membaca tulisan ini sudah cukup usia untuk menyuarakan pilihan anda, dan pastinya turut serta berpartisipasi dalam Pemilu 2019. Coba anda perhatikan, bukankah prosedur pemilihan mulai dari penyebaran undangan ke TPS sampai mencoblos alurnya begitu padat dan berbelit? kita harus membuka kertas suara sebesar meja untuk DPRD, dengan parpol dan calon yang variatif.
Mudah saja bagi kita yang mungkin masih muda, mata masih bagus dan ketelitian masih tajam. Bayangkan orang orang tua kita yang sudah berumur dan sudah lanjut usia, memilih satu dari puluhan partai dan calon dalam satu kertas dengan tulisan yang kecil bukanlah hal yang mudah bagi sepasang bola mata.
Belum lagi harus antri berjam jam karna satu orang memakan 3 sampai 8 menit untuk mencoblos, mungkin banyak yang tak sabar dan pulang. Akibat prosedur yang rumit dan berbelit, dapat kita lihat sebanyak 527 petugas KPPS, PPS dll kelelahan dan akhirnya meninggal karna begitu intens bekerja, alih alih merasa bersalah KPU hanya menukar "nyawa" dengan 30juta dan gelar "Pahlawan Demokrasi". Belum lagi masalah DPT ganda, ghost votter, DPT "Siluman" dll.
Media internasional mengatakan bahwa Pemilu kita merupakan Pemilihan yang paling rumit sedunia, karna mempertemukan dua agenda besar yakni pemilihan Presiden/Wakil Presiden dan pemilihan Anggota Legislatif (DPR,DPD dan DPRD)
2. Efektif dan Efisiensi
Pemerintah lewat Kementrian Keuangan mengalokasikan dana sekitar Rp.25,59 trilliun untuk penyelenggaraan Pemilu 2019, Angka ini naik 61% dari Pemilu 2014 yang hanya memakan Rp. 15,62 trilliun. Fantastis bukan?
Padahal seharusnya tujuan "Pemilu Serentak" adalah untuk bagaimana memangkas biaya operasional atau cost, makanya dibuat sekali jalan. Tapi toh sama saja kok hanya beda malah lebih boros Pemilu serentak 2019 ini. Itu merupakan kerugian materil yang bisa saja dimaklumi karna memang sebuah agenda besar seperti ini memang memakan cost, tapi bagaimana dengan kerugian imateril? sebanyak 527 penyelenggara Pemilu meninggal 11.239 orang sakit, dengan gaji sekecil itu bisa menukar penderitaan dan kehilangan keluarga? Efisienkah?
Kita dapat lihat sendiri, rekapitulasi ditiap TPS itu memakan waktu sampai subuh, dimulai dari jam 3, beberapa jam setelah TPS ditutup. Sekitar 12 jam petugas merekap kotak, kertas dan formulir yang harus diisi. Belum lagi kalau TPS nya jauh seperti dikepulauan atau dibawah lembah diatas gunung, pembagian logistik dan pengiriman logistik ke Ibu Kota Kabupaten/Kota pasti memakan waktu, biaya dan tenaga. Efektifkah?
Pemilu serentak yang tujuannya memangkas biaya dan memudahkan penyelenggaran hanya menjadi momok bagi peserta dan penyelenggara Pemilu, takutnya di 2024 tak ada lagi yang ingin jadi penyelenggara pemilu (KPPS,PPS) melihat kejadian seperti ini
3. Ambang batas Pemilu atau Presidensial/Parlementary Threshold
Sedikit menjelaskan, Ambang batas pemilu atau Presidensial/Parlementary Threshold adalah standar yang dipatok UU No.7 tahun 2017 ini bagi setiap peserta Parpol maupun calon presiden/wakil presiden untuk mengikutsertakan diri dipemilu selanjutnya.
Standar Presidensial Threshold saat ini adalah 25% atau setidaknya 20% kursi DPR, pencapaian 25% itu dapat dicapai dengan koalisi partai peserta pemilu dengan mengabungkan perolehan suaranya sehingga mencapai 25% atau 20% kursi parlemen. Sedangkan untuk Parlementary Threshold merupakan standar yang dipatok regulasi yakni 4% bagi parpol untuk bisa berkompetisi di Pemilu berikutnya. Bila tidak capai 4% suara nasional maka parpol akan gugur dan tak dapat mengutus wakilnya di Senayan.
Menurut saya, untuk ambang batas Presiden 25% itu sangat tinggi, bila dipertahankan kita hanya akan melihat 2 calon di 2024, ini akan mengulang peristiwa 2014 dan 2019 yang orang orangnya hanya mereka mereka saja. Bila hanya dua kubu, mudah sekali terjadi konflik dan distorsi di masyarakat, lihat aja Cebong dan Kampret sampai saat ini masih saling hujat.
Kemudian untuk ambang batas Parlemen 4%, saya berpikir sebaliknya, terlalu rendah untuk negara ini. Mengapa demikian? bila Parlementary dipertahankan atau mungkin diturunkan, Parpol akan membludak, banyak sekali Parpol yang akan berkompetisi, kertas suara yang dulunya hanya sebesar meja, sekarang sudah sebesar tempat tidur, banyangkan saja. Threshold untuk parlemen harus diperkuat, partai bisa saja berfusi atau meleburkan diri pada parpol yang mampu.
Relevansinya, bila ambang batas Presiden diturunkan dan ambang batas Parlemen dinaikan, kita akan semakin selektif dalam memilih calon presiden/wakil presiden di 2024 nanti, tak hanya pada dua poros saja, mungkin 3 bahkan 4 calon. Tak monoton didua saja
4. Pemilihan Presiden/Wakil Presiden dan Pemilihan Anggota Legislatif harus di Pisah!!!
Yah harus begitu, jangan lagi alasan cost dan efektifitas, lihat saja katanya serentak, alih alih memangkas dana dan waktu, sama aja kok. Tak ada yang berubah, malah korban yang berubah dulunya sedikit tapi sekarang berlipat ganda.
Pemilu anggota legistatif harus duluan seperti di negara negara lain, duluan pemilihan parlemen baru pemelihan presiden. Baru setelah itu kekuatan politik hasil pemilihan legislatif akan terlihat peta kekuatan parpol pengusung calon presiden dan wakil presiden di Pemilu Presiden yang akan datang.
Pemerintah mengklaim sukses melaksanakan Pesta Demokrasi dan sukses dalam penyelenggaraan pemilu tapi lihatlah. Semua berasal dari regulasi yang harus dievaluasi. Ibarat melaksanakan pesta, makanan, minuman, jamuan, piring dan gelas ditata rapih diatas meja bertaflak merah, elegan dan megah tapi dibalik karpet pengalas pesta itu terdapat tulang belulang, kotoran dan bau yang disembunyikan penyelenggaran pesta demi "Pesta yang mewah, sukses dan megah"
Inilah alasan mengapa revisi Undang Undang Pemilu kita harus sesegera mungkin dilaksanakan, demi kemajuan demokrasi dan keselamatan rakyat. Terlalu banyak alasan untuk sesegera mungkin menyadarkan pemerintah untuk melakukan pengkajian. Inovasi dan terobosan harus dilakukan pemerintah, mungkin sudah saatnya pemerintah mentransformasikan Pemilu kita ke e votting, dengan segala pertimbangan yang matang.
Ingat, jangan sampai melukiskan luka baru diatas luka lama
Sekian,
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment