Wednesday 14 August 2019

Hasrat Kuasa Dibalik Kebangkitan GBHN



Membicarakan isu isu kepemerintahan tak kunjung habis, mati satu tumbuh seribu. Masih terasa atmosfer Pemilu 2019 dengan segala manifestasinya sekarang isu isu kepemerintahan berjalan mengalir mengikuti arus. Mulai dari isu Pemilihan Presiden, lanjut ke bagi bagi kursi Mentri, dan lain lain. Termasuk di dalamnya isu tentang pelahiran kembali GBHN (Garis Garis Besar Haluan Negara) sebagai pedoman pembangunan 25 tahunan itu.

GBHN ini memuat tentang arah  pembangunan Indonesia selama 25 tahun kedepan dengan memberikan pandangan umum terkait haluan negara dalam pembangunan. GBHN ini merupakan produk politik dari Lembaga "Tertinggi" Negara yakni MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dalam sidang istimewa mereka. Amanat ini tercantum dalam dasar konstitusi kita yakni UUD 1945 "Sebelum amandemen". Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang Undang dan Garis Garis Besar dari pada Haluan Negara" Pasal 3 ayat 1 UUD 1945 "Sebelum Amandemen".

Atas kekuasaan itu MPR dikatakan sebagai "Lembaga Tertinggi" Negara karna kewenangan MPR begitu besar di negara ini. Tapi semua berubah saat reformasi pecah. Peralihan dari zaman otoritarianisme Orde Baru ke era Reformasi mengubah sebagian besar sistem kenegaraan kita, termasuk didalamnya membatasi kewenangan MPR serta dihapuskannya GBHN dari UUD 1945.

Setelah amandemen UUD 1945 (amandemen IV) atau dalam era Reformasi, MPR sudah tak sekuat dulu. Gelar "Lembaga Tertinggi Negara" sudah tak lagi diembannya ibarat gigi nya dicabut makanya tak sebuas dulu. Perubahan konstitusi kita menempatkan MPR setara dengan lembaga lembaga lainnya. Pun akibat amandemen ini MPR yang dulunya memiliki kewenangan memilih dan melantik bahkan memberhentikan (Gusdur diturunkan MPR karna menyimpang)  seorang Presiden hanya tinggal kenangan.

Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 "Setelah Amandemen" begitu amanan dasar konstitusi kita yang membuat MPR semakin terpojok.

Saat ini terjadi diskursus dari berbagai elit dan bahkan masyarakat tentang wacana pemberlakuan kembali GBHN oleh MPR. Berbagai perdebatan di televisi swasta muncul dan beberapa pakar tata negara mendiskusikan apakah perlu atau tidak pengembalian GBHN ini.

Saya sendiri tertawa mendengar beberapa statment dari elit khususnya politisi. Sangat jelas sekali membedakan mana yang membicarakan substansi dan mana yang hanya mencari sensasi agar hasrat berkuasa terwujud. Alasan saya tertawa karna saat ini kita memiliki pedoman yang cukup konkrit terkait pedoman pembangunan kita, adalah Undang Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang "Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)" regulasi ini berisi tentang Sistematika Perencanaan Pembangunan Negara kita, termasuk di dalamnya RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang)

RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) ini memuat pedoman pembangunan kita selama 20 tahun (dari 2005 sampai 2025) dilengkapi dan diurai dengan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Mengengah) yakni 5 tahunan. Pun dibuat lebih konkrit dengan RKP (Rencana Kerja Pemerintah) tahunan sehingga membuat RPJP ini konkrit bukan hanya abstraksi haluan pembangunan seperti yang termuat dalam GBHN.

Makanya lucu kalau ada seorang pakar tata negara kemudian mengatakan bahwa GBHN lah yang lebih konkrit untuk itu harus dilahirkan kembali. Aduh ini berarti tidak memahami betul atau mungkin tidak pernah membaca UU No.25 tahun 2004 tentang SPPN.

Kelahiran kembali GBHN tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengembalikan kekuasaan MPR. Ini terlihat dari intrik mereka soal usul penambahan kursi pimpinan MPR yang dulunya 5 menjadi 7 dan sekarang diusul menjadi 10, jelas ini adalah cara untuk bagaimana berbagi kekuasaan.

Ini soal sensasi saja bukan substansi, kita sudah ada kok pedoman pembangunan 20 tahunan yakni RPJP pula dilengkapi dengan RPJM dan RKP jangan lah stepback kebelakang. Bila kita GBHN dilahirkan kembali dalam konstitusi kita ini merupakan kemunduran dalam penyelenggaraan bernegara kita.

Bayangkan nanti bila amandemen ke V UUD 1945 ini benar benar terjadi, dan melihat intrik politik dari setiap elit. Feeling saya kok rada gak enak ...

Sekian






No comments: