Friday 3 May 2019

Politik "Roti dan Sirkus"

Pada zaman Romawi Kuno, urusan pemerintah pada zaman kekuasaan kaisar Julius Caesar sangat enteng, waktu itu rakyat memiliki kebutuhan dasar yakni bagaimana mereka bisa makan dan bisa terhibur maka mereka bisa menikmati hidup mereka dengan tenang dan tanpa masalah asal keingina
n akan perut dan batin terpenuhi.

Pada kisahnya, ada sebuah roti "anonna" yang diberikan gratis oleh rezim Caesar pada masa itu, kemudian untuk menghibur rakyatnya ia mengadakan sirkus balapan kuda "Circus Maximus" yang konon lebih populer dengan acara "Gladiator" yang digelar di Colloseum. Dua Hal ini lah yang menjadi cikal bakal bagaimana konsep "roti dan sirkus" tercipta.



"Berilah mereka roti dan hiburan (sirkus), niscaya kekuasaanmu akan kekal", "Berilah rakyat hina itu kepuasan maka mereka akan tunduk", "Berilah mereka janji serta harapan, niscaya mereka akan mengikuti keinginanmu" seru Julius Caesar.

Kepuasan biologis dan kepuasan psikologis rakyat roma waktu itu menyebabkan mereka tak lagi mempersoalkan keadaan bangsa roma waktu itu. Kebahagiaan yang diperoleh dengan mudah dan gratis. Kekritisan rakyat dibungkam dengan "roti dan sirkus" yang menjahit mulut mereka untuk mengeritik kebijakan absolutisme dari rezim diktator Caesar.

Berkat sihir konsep "roti dan sirkus" Caesar rakyat tunduk, kehidupan rakyat menjadi stagnan, pasif dan bungkam. Harga receh dari sebuah roti dan hiburan pemuas kebutuhan rakyat mengakibatkan rakyat tidak lagi kepeduli dengan kondisi bangsanya.

Inilah penyakit Indonesia sekarang. Pemilu merupakan pentas pertunjukan akrobatik dari tiap elit politik, mereka memukau para rakyat dengan retorika agar rakyat takluk dan tunduk. Pemilu menjadi habitat bagi hedonisme, elitisme dan kapitalisme. Pula sekarang, pentas kepentingan sangat laris bagi elit politik mencari kekuasaan, mengatas namakan pemerintah rakyat disugukan dengan intrik pragmatis. Suatu peristiwa yang kecil diblow up untuk dipertontonkan oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya bukan sirkus yang menghibur malah menjadi petaka bagi rakyat akibat gimmick dari tiap elit.

Contoh, kasus Ahok. Orang yang memiliki kepentingan politik berusaha memblow up kasus ini agar menggiring opini publik agar menyimpulkan bahwa Ahok ini adalah "Kriminal Agama" dengan dalih agar elektabilitas Ahok pada Pilkada DKI (2017) tergusur. Publik divisualisasikan dengan peristiwa ini sehingga menciptakan pentas konflik antar personal, antar kubu, antar umat dan antar daerah. Itulah gerak gerik akrobatik para "benalu demokrasi" untuk saling menyikut, publik dibuat konflik dengan suguhan drama sirkus yang mereka buat, tujuannya pasti untuk bagaimana mendapatkan kekuasaan.

Urusan roti, publik disuguhi dengan jaminan dan program yang menggiurkan oleh para elit. Masyarakat terlalu cepat puas dengan bantuan "Pemerintah" yang berjangka pendek dengan manfaat yang kecil, Rakyat terlalu cepat diam apabila telah diberikan program, padahal 80% dari keseluruhan biayanya masuk didompet si "badjingan". Akibatnya, rakyat terlalu prematur menganggap suatu kebijakan seutuhnya untuk rakyat.

Publik dihidangkan makanan membuat perut keroncongan, sedangkan perut elit yang buncit. Input kebijakan diatasnamakan rakyat, outputnya dirasakan elit.

Publik dibungkamkan dengan "roti dan sirkus" moderen, dengan dalih kepuasan dan kesejahtraan publik ditipu dengan suguhan mahakarya palsu dari "benalu demokrasi".

Konflik ciri perang bukan demokrasi. Evaluasi pemilu 2019 ini, khususnya pemilihan Presiden kesadaran publik dalam berdemokrasi sangat minim, publik masih kurang cerdas berpikir objektif dan realistis dengan hasil. Begitu mudahnya publik dimobilisasi oleh "preman politik". Agama dipolitisasi, umat dihewanisasi. Jangan sampai Indonesia terbelah karna hiburan yang dibuat sang pencipta perpecahan!

"Kita seolah olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang orang yang berani menyetakan pendapat mereka yang mengusik pemerintah" SHG

Beginikah citra negara yang katanya "demokratis"?

Rio R. Simbar
17603147

No comments: