Thursday 23 May 2019

Maladministrasi dan Patologi Birokrasi


“MALADMINISTRASI DAN PATOLOGI BIROKRASI”
MAKALAH



DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 8

·        RIO R. SIMBAR
·        CARINNE LOESI
·        BILLY C. WORAN
·        LICHY PAAT
·        VERONIKA TUMEWU

Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Manado
2019

Kata Pengantar

Syaloom, Asalammualaikum
Puji Syukur Kami panjatkan Kepada Tuhan YME, karna atas berkat dan penyertaanNya Kami kelompok 8 dapat mendapatkan kekuatan dan hikmat sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Pula kami berterimahkasih karna atas Perkenanan Tuhan YME Kami boleh bekerjasama dalam penyusunan dan boleh melaksanakan tugas kami sebagai mahasiswa dalam penyelesaian tugas Analisis Administrasi Negara
Kami sangat bersyukur karna sampai pada saat ini kami telah menyelesaikan makalah ini dengan baik, untuk itu pula kami berterimakasih kepada seluruh pihak yang boleh membantu kami dalam penyusunan makalah ini. Dengan demikian kami dapat belajar dan mendapat pengalaman dalam menyusun karya tulis ini dan diharapkan menjadi pengalaman bagi kita untuk menyusun karya tulis yang lebih tinggi jenjangnya ditahap berikutnya
Sebagai manusia kami sadar bahwa kami tak sempurnah, oleh karna alasan itu kami tau bahwa makalah ini masih belum sempurnah. Perlu tanggapan, komentar, kritik dan saran bagi kami agar kami dapat memperbaiki dan memantapkan karya kami ini agar ditahap selanjutnya akan lebih baik.
Sebagai penutup semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita sekalian dan boleh diterima oleh dosen pengajar Ananlisis Administrasi Negara menjadi pengangan dan pedoman dalam kita belajar bersama. Tuhan Yesus Memberkati Kita Sekalian.         

Pakatuan Wo Pakalowiren


Tondano,    April 2019


Tim Penulis


DAFTAR ISI








BAB I

Pendahuluan

Giat Indonesia dalam mempersiapkan diri dalam menjadi negara maju mendapat berbagai kriteria yang harus dipenuhi, sebagai negara berkembang Indonesia masih banyak pekerjaan rumah untuk berbenah dan mengevaluasi diri. Banyak aspek yang harus menjadi perhatian yakni Politik, Sosial, Budaya dan aspek lainnya. Administrasi Negara adalah salah satu didalam aspek tersebut
“Untuk menilai maju tidaknya suatu negara, lihatlah Administrasi Negaranya atau Pelayanan Publiknya” L. Bulo. Ya, apabila suatu negara telah memiliki pelayanan kepada publik yang prima maka masyarakat akan puas dengan kinerja pemerintah sehingga akan menunjang setiap program yang dibuat pemerintah. Sebaliknya, jika pelayanan publik itu rendah, buruk dan jelek maka respon dari masyarakat juga serupa sehingga menghambat perkembangan dan pembangunan suatu negara.
Untuk menciptakan Administrasi Negara yang kuat dalam sistem yang utuh, tak juga dipungkiri bawasannya banyak penyimpangan yang dihadapi baik sistemnya maupun orangnya (birokrat/administrator).
Dalam makalah ini kami akan membahas penyimpangan yang terjadi dalam Administrasi Negara itu sendiri. Yakni Maladministrasi dan Patologi Administrasi
1)      Apa itu Administrasi Negara
2)      Apa itu Maladministrasi
3)      Apa itu Patologi Administrasi
4)      Tugas dan Wewenang Ombudsman RI
5)      Bagaimana cara mengatasinya
Makalah ini dibuat untuk mengetahui lebih dalam tentang penyimpangan yang terjadi dalam Administrasi Negara juga bagaimana untuk mengatasinya, pula untuk memeuhi tugas terstruktur mata kuliah “Analisis Administrasi Negara” . Dan juga akan menjadi latihan untuk karya tulis yang lebih lanjut lagi

BAB II

Pembahasan

Di negara manapun birokrasi memiliki peranan penting dalam menjalankan berbagai tugas pemerintahan suatu negara. Birokrasi  tidak hanya menjalankan perannya dalam memberikan pelayanan tetapi juga melaksanakan keputusan politik pemerintah. Dalam penyelenggaraan pemerintah, mal administrasi tidak hanya diartikan sekedar penyimpangan terhadap hal tulis menulis, tata buku, procedural dan sebagainya. Namun mal administrasi diartikan lebih luas dan mencakup pada penyimpangan yang terjadi terhadap fungsi-fungsi pelayanan publik atau pelayanan pemerintah yang dilakukan oleh setiap pejabat pemerintahan.
Dengan kata lain, tindakan mal administrasi pejabat pemerintah dapat merupakan perbuatan, sikap maupun prosedur dan tidak terbatas pada hal-hal administrasi atau tata usaha belaka. Istilah mal administrasi diambil dari bahas inggris “maladministration” yang diartikan tata usaha buruk atau pemerintahan buruk. Pengertian mal administrasi secara umum adalah perilaku yang tidak wajar, termasuk penundaan pemberian pelayanan, tidak sopan dan kurang peduli terhadap masalah yang menimpa seseorang yang disebabkan oleh perbuatan penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekuasaan secara semena-mena atau kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang tidak wajar, tidak adil, intimidatif atau diskriminatif dan tidak patut didasarkan seluruhnya atau sebagian atas ketentuan undang-undang atau fakta, tidak masuk akal atau berdasarkan tindakan yang tidak beralasan (unreasonable), tidak adil (unjust), menekan (oppressive), imporer dan diskriminatif.
Sedangkan menurut  Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (“UU 37/2008”) maladministrasi diartikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Menurut Hendra Nurtjahjo dkk dalam buku Memahami Maladministrasi (hal. 11-12) yang kami akses dari laman Ombudsman RI menjelaskan definisi maladministrasi yaitu:
a.    Perilaku dan perbuatan melawan hukum,
b.    Perilaku dan perbuatan melampaui wewenang,
c.    Menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang itu,
d.    Kelalaian,
e.    Pengabaian kewajiban hukum,
f.     Dalam penyelenggaraan pelayanan publik,
g.    Dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan,
h.    Menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial,
i.      Bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk maladministrasi yang paling umum adalah penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, tidak transparan, kelalaian, diskriminasi, tidak profesional, ketidakjelasan informasi, tindakan sewenang-wenang, ketidakpastian hukum, dan salah pengelolaan.
Hendra dkk. Menjelaskan yang termasuk dengan maladministrasi yang dilakukan Aparat Pemerintahan antara lain sebagai berikut;
1.    Mis Conduct yaitu melakukan sesuatu di kantor yang bertentangan dengan kepentingan kantor.
2.    Deceitful practice yaitu praktek-praktek kebohongan, tidak jujur terhadap publik. Masyarakat disuguhi informasi yang menjebak, informasi yang tidak sebenarnya, untuk kepentingan birokrat.
3.    Korupsi yang terjadi karena penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya, termasuk didalamnya mempergunakan kewenangan untuk tujuan lain dari tujuan pemberian kewenangan, dan dengan tindakan tersebut untuk kepentingan memperkaya dirinya, orang lain kelompok maupun korporasi yang merugikan keuangan negara.
4.    Defective Policy Implementation yaitu kebijakan yang tidak berakhir dengan implementasi. Keputusan-keputusan atau komitmen-komitmen politik hanya berhenti sampai pembahasan undang-undang atau pengesahan undang-undang, tetapi tidak sampai ditindak lanjuti menjadi kenyataan.
5.    Bureaupathologis adalah penyakit-penyakit birokrasi ini antara lain:
a.    Indecision yaitu tidak adanya keputusan yang jelas atas suatu kasus. Jadi suatu kasus yang pernah terjadi dibiarkan setengah jalan, atau dibiarkan mengambang, tanpa ada keputusan akhir yang jelas. Biasanya kasus-kasus seperti bila menyangkut sejumlah pejabat tinggi. Banyak dalam praktik muncul kasus-kasus yang di peti es kan.
b.   Red Tape yaitu penyakit birokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan yang berbelit-belit, memakan waktu lama, meski sebenarnya bisa diselesaikan secara singkat.
c.    Cicumloution yaitu Penyakit para birokrat yang terbiasa menggunakan katakata terlalu banyak. Banyak janji tetapi tidak ditepati. Banyak kata manis untuk menenangkan gejolak masa. Kadang-kadang banyak kata-kata kontroversi antar elit yang sifatnya bisa membingungkan masyarakat.
d.    Rigidity yaitu penyakit birokrasi yang sifatnya kaku. Ini efek dari model pemisahan dan impersonality dari karakter birokrasi itu sendiri. Penyakit ini nampak,dalam pelayanan birokrasi yang kaku, tidak fleksibel, yang pokoknya baku menurut aturan, tanpa melihat kasus-perkasus.
e.   Psycophancy yaitu kecenderungan penyakit birokrat untuk menjilat pada atasannya. Ada gejala Asal Bapak senang. Kecenderungan birokrat melayani individu atasannya, bukan melayani publik dan hati nurani. Gejala ini bisa juga dikatakan loyalitas pada individu, bukan loyalitas pada publik.
f.     Over staffing yaitu Gejala penyakit dalam birokrasi dalam bentuk pembengkakan staf. Terlalu banyak staf sehingga mengurangi efisiensi.
g.    Paperasserie adalah kecenderungan birokrasi menggunakan banyak kertas, banyak formulir-formulir, banyak laporan-laporan, tetapi tidak pernah dipergunakan sebagaimana mestinya fungsinya.
h.   Defective accounting yaitu pemeriksaan keuangan yang cacat. Artinya pelaporan keuangan tidak sebagaiamana mestinya, ada pelaporan keuangan ganda untuk kepentingan mengelabuhi. Biasanya kesalahan dalam keuangan ini adalah mark up proyek keuangan.
Masih bersumber dari buku yang sama, ada pendapat lain mengenai bentuk maladministrasi yang dilakukan oleh birokrat yaitu:
1.    Ketidak jujuran (dishonesty), berbagai tindakan ketidak jujuran antara lain: menggunakan barang publik untuk kepentingan pribadi, menerima uang dll.
2.   Perilaku yang buruk (unethical behavior), tindakan tidak etis ini adalah tindakan yang mungkin tidak bersalah secara hukum, tetapi melanggar etika sebagai administrator.
3.    Mengabaikan hukum (disregard of law), tindakan mengabaikan hukum mencakup juga tindakan menyepelekan hukum untuk kepentingan dirinya sendiri, atau kepentingan kelompoknya.
4.   Favoritisme dalam menafsirkan hukum, tindakan menafsirkan hukum untuk kepentingan kelompok, dan cenderung memilih penerapan hukum yang menguntungkan kelompoknya.
5.    Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai, tindakan ini cenderung ke perlakuan pimpinan kepada bawahannya berdasarkan faktor like and dislike. Yaitu orang yang disenangi cenderung mendapatkan fasilitas lebih, meski prestasinya tidak begus. Sebaliknya untuk orang yang tidak disenangi cenderung diperlakukan terbatas.
6.    Inefisiensi bruto (gross inefficiency), adalah kecenderungan suatu instansi publik memboroskan keuangan negara.
7.   Menutup-nutupi kesalahan, kecenderungan menutupi kesalahan dirinya, kesalahan bawahannya, kesalahan instansinya dan menolak di liput kesalahannya.
8.    Gagal menunjukkan inisiatif, kecenderungan tidak berinisiatif tetapi menunggu perintah dari atas, meski secara peraturan memungkinkan dia untuk bertindak atau mengambil inisiatif kebijakan.

·         Contoh kasus mal administrasi adalah soal kewarganegaraan (mantan) Menteri ESDM Arcandra Tahar. Saat dilantik pada Rabu (27/7/2016). Arcandra sudah memegang paspor Amerika setelah melalui proses naturalisasi pada Maret 2012 dengan mengucapkan sumpah setia kepada Amerika Serikat. Tercatat , sejak Maret 2012, Arcandra melakukan empat kunjungan  ke Indonesia dengan menggunakan paspor Amerika Serikat. Selain berstatus WNI tercatat juga sebagai warga negara Amerika Serikat. Persoalan tak usai hanya dengan memberhentikan Arcandra dari jabatannya. Tapi persoalan masalah integritas pemerintahan pun muncul. Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra langsung berkomentar pedas dengan menyebut Presiden Joko Widodo asal pilih menteri tanpa melihat track record yang jelas. Direkrutnya Arcandra yang memiliki dwikewarganegaraan sebagai menteri ESDM dianggap hal memalukan. Yusril memandang aneh ketika para menteri pembantu presiden memberikan penjelasan bertele-tele mengenai status kewarganegaraan Archandra Tahar. Tak kurang anehnya adalah penjelasan Menkumham yang seolah-olah tidak mengerti hukum kewarganegaraan RI. Arcandra dinilai melanggar UU No 6/2011 tentang Keimigrasian, UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan serta UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara karena dinilai melawan hukum dan membohongi Presiden dan rakyat Indonesia. Archandra melakukan public lie (kebohongan publik) menurut Prof Tjipta Lesmana seorang pakar komunikasi, dengan mengatakan bahwa dia merupakan warga negara Indonesia dengan wajah minangnya. Selanjutnya Prof Tjipta memandang pada sisi siapa yang telah membawa atau menawarkan posisi menteri kepada Archandra, sehingga  Presiden Jokowi kecolongan. Sehingga reputasi Presiden di pertaruhkan dan kinerja BIN pun dipertanyakan.
·         Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan pelanggaran administrasi oleh Kementerian Agama (Kemenag) dalam kasus penipuan pemberangkatan umrah oleh PT Amanah Bersama Umat Tours (Abu Tours). Penemuan itu terungkap setelah Ombudsman melakukan serangkaian pemeriksaan terkait kasus itu."Dari pemeriksaan tersebut, Ombudsman menemukan ada empat maladministrasi yang dilakukan Kementerian Agama,” kata anggota Ombudsman, Ahmad Suaedy di kantornya, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan,Jakarta Selatan, Selasa (17/4/2018). Dalam kasus tersebut, Ombudsman juga menemukan adanya pelanggaran administrasi Kementerian Pariwisata (Kemenpar). “Satu maladministrasi Kementerian Pariwisata," lanjut Ahmad Suaedy. Empat pelanggaran administrasi yang dilakukan Kemenag, yakni meliputi ketidakkompetenan, pengabaian kewajiban hukum, penyimpangan prosedur, dan penyalahgunaan wewenang. Sementara terhadap Kemenpar, yakni terkait pengabaian kewajiban hukum. Ombudsman telah mengultimatum Kemenag terkait adanya kasus penipuan umrah pada 2017. Pada kasus itu, ada 56 ribu calon jamaah haji dengan dana mencapai Rp830 miliar gagal berangkat haji. "Meskipun Kemenag telah menindaklanjuti saran Ombudsman dengan mengeluarkan PMA (Penanaman Modal Asing) Nomor 8 Tahun 2018, namun penipuan dan kasus gagal berangkat umrah ternyata terulang kembali (oleh) PT Abu Tours dengan jumlah korban yang lebih besar," ungkapnya. Atas temuan maladministrasi itu, Ombudsman melayangkan saran kepada Kemenag dan Kemenpar untuk melakukan tindakan korektif. Banyak langkah perbaikan yang harus dilakukan oleh Kemenag untuk memperbaiki penyelenggara ibadah umrah," pungkasnya.
·         Bupati Minahasa Utara, Vonnie Panambunan dikabarkan ia tak dapat melantik atau rolling jabatan SKPD Minut karena sebelumnya melantik pejabat yang tak melalui mekanisme hukum. Perilaku ia ini dikategorikan sebagai maladministrasi sehingga sampai sekarang ia tak dapat melantik dan merolling pejabat di Kabupaten Mihasa Utara.  Juga dikatakan juga terlibat dalam tindak pidana korupsi terkait proyek pemecah ombak di Kabupaten Minahasa Utara. Ia terlibat dalam proyek yang dikerjakan di Likupang Dua yang bernilai Rp.15 Milyar.
Istilah “patologi” hanya dikenal dalam ilmu kedokteran sebagai sesuatu penyakit. Namun belakangan analogi ini dikenal dalam ilmu politik untuk menyadur bahwa dalam realitasnya ada “penyakit” dalam tubuh pemerintahan. Namun bukan penyakit seperti halnya dalam ilmu kedokteran. Namun bisa dikatakan adanya penyakit akut yang sulit dihilangkan, terutama dalam birokrasi di Indonesia. Makna ini agar birokrasi pemerintahan mampu menghadapi tantangan yang mungkin timbul, baik yang bersifat politis, ekonomi, sosial kultural dan teknologi. Berbagai penyakit yang mungkin sudah deritanya atau mengancam akan menyerang perlu diidentifikasi untuk dicari solusi yang paling efektif. Harus diakui bahwa tidak ada birokrasi yang sama sekali bebas dari patologi birokrasi. Sebaliknya tidak ada birokrasi yang menderita “penyakit birokrasi sekaligus”.
Menurut Taliziduhu Ndraha, Miftah Thoha, Peter M. Blau, David Osborne, JW Schoorl) Patologi birokrasi adalah penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik, melaksanakan tugas, dan menjalankan program pembangunan.
Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari patologi birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti “sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan prosedur-prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status.
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal. 
a.       Paternalistik
Yaitu atasan bagaikan seorang raja yang wajib dipatuhi dan dihormati, diperlakukan spesial, tidak ada kontrol secara ketat, dan pegawai bawahan tidak memiliki tekad untuk mengkritik apa saja yang telah dilakukan atasan. Hal tersebut menjadikan pelayanan publik kurang maksimal dikarenakan sikap bawahan yang terlalu berlebihan terhadap atasan sehingga birokrasi cenderung mengabaikan apa yang menjadi kepentingan masyarakat sebagai warga negara yang wajib menerima layanan sebaik mungkin;
b.      Pembengkakan Anggaran
Terdapat beberapa alasan mengapa hal ini sering terjadi yaitu: semakin besar anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan semakin besar pula peluang untuk memark-up anggaran, tidak adanya kejelasan antara biaya dan pendapatan dalam birokrasi publik, terdapatnya tradisi memotong anggaran yang diajukan pada proses perencanaan anggaran sehingga memunculkan inisiatif pada orang yang mengajukan anggaran untuk melebih-lebihkan anggaran, dan kecenderungan birokrasi mengalokasikan anggaran atas dasar input. Pembengkakan anggaran akan semakin meluas ketika kekuatan civil society lemah dalam mengontrol pemerintah;
c.       Pembengkakan Birokrasi
Dapat dilakukan dengan menambah jumlah struktur pada birokrasi dengan alasan untuk meringankan beban kerja dan lain-lain yang sebenarnya struktur tersebut tidak terlalu diperlukan keberadaannya. Akibatnya banyak dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang dikeluarkan oleh pemerintah yang secara tidak langsung dapat merugikan Negara. Sehingga anggaran menjadi kurang tepat sasaran; dan
d.      Fragmentasi Birokrasi
Banyaknya kementerian baru yang dibuat oleh pemerintah lebih sering tidak didasarkan pada suatu kebutuhan untuk merespon kepentingan masyarakat agar lebih terwadahi tetapi lebih kepada motif tertentu. (Agus Dwiyanto, 2011: 65)
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA (1994) menyebut serangkaian contoh penyakit (patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit – penyakit tersebut dapat dikategorikan dalam empat macam :
1)      Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya menejerial para pejabat dilingkungan birokrasi (birokrat). Diantara patologi jenis ini antara lain, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima suap, arogansi dan intimidasi, kredibilitas rendah, dan nepotisme.
2)      Patologi yang timbul karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan ketrampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional. Diantara patologi jenis ini antara lain, ketidaktelitian dan ketidakcekatan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, rasa puas diri, bertindak tanpa pikir, kemampuan rendah, tidak produktif, dan kebingungan.
3)      Patologi yang timbul karena karena tindakan para anggota birokrasi melanggar norma hukum dan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Diantara patologi jenis ini antara lain, menerima suap, korupsi, ketidakjujuran, kleptokrasi, dan mark up anggaran.
4)      Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif. Diantara patologi jenis ini antara lain, bertindak sewenang-wenang, konspirasi, diskriminatif, dan tidak disiplin.5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi di lingkungan pemerintah. Diantara patologi jenis ini antara lain, eksploitasi bawahan, motivasi tidak tepat, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja kurang kondusif. (Sondamg, 1994: 35).
Untuk menyembuhkan patologi birokrasi tersebut maka birokrasi memerlukan manusia yang memiliki keunggulan:
·         Unggul dalam penguasaan ilmu dan teknologi;
·         Unggul dalam penguasaan stategik;
·         Unggul dalam berkolaborasi ;
·         Unggul dalam bernegosiasi;
·         Unggul dalam penguasaan informasi.

Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu: 
Yang pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan. 
Yang kedua pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang diperbuat. 
Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara:
·         Kepemimpinan yang adil dan kuat
·         Alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik
·         Adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi.
Yang ketiga ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya demokrasi dan rasa ber-tanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat. Merubah Patologi Birokrasi Melalui Prinsip Good Governance Mar'ie Muhammad (Media Transparansi 1998) menyatakan bahwa good governance itu ada jika pembagian kekuasaan ada
Meluruskan pernyataan Anda soal kewenangan Ombudsman dalam menangani maladministrasi, kami luruskan bahwa menangani maladministrasi bukanlah kewenangan Ombudsman, melainkan tugas Ombudsman seperti yang disebut dalam Pasal 7 UU 37/2008:


a.       menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
b.      melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;
c.       menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
d.      melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
e.       melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
f.       membangun jaringan kerja;
g.      melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
h.      melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.
2.       Wewenang Ombudsman
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, Ombudsman berwenang:
a.       meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
b.      memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan;
c.       meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor;
d.      melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan;
e.       menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
f.       membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
g.       demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi;
h.      menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;
i.        menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundangundangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi.


BAB III

Penutup

Telah diketahui bahwa penyimpangan telah dibuat lumrah oleh pelaku administrasi dan birokrasi diIndonesia, Maladministrasi dan Patologi Adminitrasi/Birokrasi telah merupakan penyakit yang membudaya diranah Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, memang harus diakui untuk merubah sesuatu yang telah membudaya bukanlah hal yang mudah. Perlu dilakukan reformasi dan revolusi terhadap peraku administrasi dan birokrasi juga membenahi sistem organisasi yang belum maksimal.
Untuk itu diharapkan setelah mengetahui gejala dan penyakit dalam Administrasi Negara yakni Maladministrasi dan Patologi Administrasi/Birokrasi diharapkan agar sebagai “calon” birokrat nantinya kita dapat mengambil peran aktif sebagai pionner didalam organisasi publik dan sebagai agent of change (agen perubahan) agar kita dapat menyembuhkan dan memulihkan serta mengefektifkan seluruh komponen administrasi negara dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kuat!
Sebagai mahasiswa yang masih dalam tahap belajar, kita perlu saling bertukar buah pikir agar menjadi kekayaan bersama dan evaluasi bersama terkait makalah ini, dan untuk kritik dan saran yang membangun dengan senang hati kami kelompok menerimanya.
Terimakasih telah membaca dan mengikuti diskusi makalah ini. Semoga dapat berguna dan dapat diterima dalam pemenuhan tugas terstruktur mata kuliah Analisis Administrasi Negara.
Tuhan Yesus Memberkati
Pakatuan Wo Pakalowiren




Daftar Pustaka

Sumber dan Refrensi :

Ø Undang Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang “Ombudsman RI”









No comments: