Sunday 10 February 2019

GOLONGAN PUTIH

MI/Duta
(REUPLOAD)

DALAM setiap penyelenggaraan pemilihan umum, golongan putih (golput) selalu menjadi fenomena. Perdebatan soal patut tidaknya seseorang yang memiliki hak pilih, tetapi tidak memilih alias golput selalu muncul ketika hari pemungutan suara semakin mendekat. Termasuk hari ini, menjelang pelaksanaan pemilu yang kelima di era reformasi.


Mengapa era reformasi menjadi sorotan ketika membicarakan golput? Statistik menunjukkan bahwa di zaman itulah tingkat partisipasi publik untuk menggunakan hak pilihnya tak pernah mencapai angka 90% kecuali pada Pemilu 1999. Bahkan pada Pemilu Legislatif 2009, tingkat partisipasi pernah mencapai level terendah, hanya 70,9%. Dengan kata lain, sebanyak 29,1% lainnya golput. Adapun untuk pemilihan presiden (pilpres), golput tertinggi tercatat pada 2014 sebesar 29,01%.
Memang, tak adil bila membandingkan pemilu di Orde Reformasi dengan pemilu ketika rezim Orde Baru berkuasa. Dari sisi mana pun, keduanya tak layak diperbandingkan, termasuk angka golput. Di era itu, golput hanya berkisar 3% sampai 6%. Maklum saja karena yang menonjol ketika itu ialah model pemilu mobilisasi, bukan partisipasi.
Namun, tetap saja kita mesti 'mencemaskan' kecenderungan tingginya golput di era kekinian itu, setidaknya di tiga pemilu terakhir. Harus diakui, dalam iklim demokrasi negeri ini yang berwatak elektoral, tingkat partisipasi ialah faktor penting. Golput, sekalipun menurut konstitusi merupakan hak yang sah dan boleh dipergunakan, mungkin akan dianggap berlawanan dengan konsepsi pemilu elektoral tersebut.
Mereka yang menganut paham 'satu suara menentukan masa depan negara' bahkan meyakini golput berbahaya bagi demokrasi karena dapat membuat legitimasi kepada parlemen dan eksekutif lemah. Pilihan golput juga akan merugikan lantaran abstain tidak akan pernah menyelesaikan masalah dan justru memberi kesempatan sembarang orang naik ke tampuk kekuasaan.
Meski demikian, alasan-alasan itu tidak bisa menjadi pembenaran bagi kita untuk tidak menghormati pilihan golput. Yang patut menjadi renungan bersama ialah mengapa pemilu kini seperti entitas yang kehilangan daya tarik? Apakah rendahnya tingkat partisipasi juga menunjukkan anjloknya kepercayaan rakyat bahwa pemilu ialah salah satu jalan untuk menentukan masa depan bernegara?
Ajakan Presiden Joko Widodo yang disampaikan saat Peringatan Imlek Nasional 2019 di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (7/2) agar  masyarakat berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menyalurkan suara, tentu bagus bila kita maknai ada kesadaran penuh dari pemerintah bahwa partisipasi publik dalam pemilu memang mesti digenjot.
Apalagi, ajakan itu dikaitkan dengan jaminan keamanan dan kenyamanan para pemilih untuk menyalurkan hak konstitusional mereka, tanpa perlu khawatir adanya intimidasi. Kini, tugas berat bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) memaksimalkan sisa waktu untuk membenahi segala permasalahan sehingga pemilu punya daya pikat.
Namun, tugas besar untuk meningkatkan partisipasi pemilih mestinya juga menjadi milik kontestan pemilu. Itulah pekerjaan rumah bagi partai politik, para calon legislatif, serta kandidat calon presiden dan wakil presiden berikut dengan tim pemenangan (tim sukses) mereka. Kini, mereka terkesan lebih sibuk menjual calon mereka dan melupakan kepentingan serta keinginan para pemilih. Bahkan mungkin mereka tak terpikir untuk menarik hati pemilih melangkah ke TPS.
Karena itu, mengubah model kampanye dengan lebih mengintensifkan ruang-ruang publik, menekankan pada aspek inovasi, visi, dan gagasan merupakan sebuah keniscayaan. Itu akan berefek sangat baik untuk meningkatkan kuantitas partisipasi dan kualitas pemilu.
Hindarilah berkampanye dengan cara-cara usang, apalagi malah sibuk mempertengkarkan isu-isu receh karena hanya akan membuat orang yang malas mencoblos menjadi semakin malas dan orang yang apatis terhadap pemilu malah makin apatis.

No comments: