Monday 13 May 2019

"Algoritma Filter Bubble" dalam Polarisasi Informasi Medsos



Jika Anda adalah orang yang sehari-hari berselancar di Facebook, Anda tidak akan kesulitan memahami algoritme ini. Dalam berselancar di media sosial milik Mark Zuckerberg itu, Anda menulis status, mem-posting foto, menyukai sesuatu, mengomentari, membagikan berita, dan lain sebagainya.


Jangan pernah berpikir bahwa semua aktivitas Anda selama berselancar di Facebook menguap begitu saja. Semua yang Anda lakukan meninggalkan jejak digital yang membuat Facebook tahu apa yang Anda sukai, tempat mana yang paling Anda senangi dan paling sering dikunjungi, berita apa yang sering Anda baca dan bagikan, dan lain sebagainya. 
Di sinilah algoritme filter bubble memainkan peran. 

Algoritme ini berfungsi untuk mengenali apa yang diinginkan dan mempermudah pengguna Facebook menemukan pencarian hal-hal yang disukai dalam platform media sosial itu. Dasarnya adalah data like dan seluruh aktivitas yang pernah kita lakukan dan terekam oleh algoritme media sosial itu.
Visi utama Facebook adalah membuat penggunanya nyaman untuk berlama-lama pada platform mereka. Algoritme filter bubble memainkan peran ini. 

Berkat algoritme ini, wall Facebook kita hanya dipenuhi oleh deretan hal-hal yang kita inginkan. Ya, kita dibuat senyaman mungkin, karena semua yang kita temukan hanya posting yang sejalan dengan perasaan kita.

Di Youtube juga, apabila kita sering membuka konten yang bergenre Gaming maka yang muncul diberanda youtube adalah vidio yang berkaitan dengan game dan esport, apabila kita senang mendengar lagu maka yang muncul diberanda adalah lagu, cover, konser, artis dll. Juga bila kita senang melihat orang makan maka yang muncul diberanda adalah vidio yang berkaitan dengan makanan yakni mukbang, wisata kuliner, review makanan, memasak dll. Pula apabila ada senang nonton debat, gejala politik, dan keadaan ekonomi maka yang muncul adalah fenomena yang terkait dengan genre yang anda senang nonton.

Itu semua secara sistemik dan terstruktur akan dikemas oleh sistem agar informasi yang kita terima adalah informasi yang kita senangi, dengan menyingkirkan informasi yang dianggap "tidak penting" bagi kita selaku pegiat Medsos. 

Tapi algoritme filter bubble yang membuat pengguna Facebook dan Youtube (juga Instagram, Twitter, Chrome dll.) nyaman ini bukan tanpa masalah. Pengguna yang hari-hari hanya disuguhi satu jenis hidangan informasi akan memandang dunia hanya dalam satu sisi saja.

Pada taraf tertentu, terjadi apa yang disebut oleh Tom Nichols sebagai “bias konformasi”: ketika kita hanya mengonfirmasi dan percaya satu jenis informasi saja dan mengabaikan informasi lainnya dalam menentukan apa yang benar dan salah.

Bias konfirmasi susah dihadapi karena orang yang mengalaminya dapat menjelaskan sisi kebenaran dari satu jenis informasi yang diterimanya, biasanya disertai dengan bukti-bukti. Problemnya adalah seseorang yang mengalami bias konfirmasi akan mengabaikan informasi lain yang bisa jadi kebenarannya lebih dapat dipercaya. 

Contohnya: orang yang ketakutan menggunakan kompor gas akan mengonfirmasi satu informasi saja, yakni kebakaran yang disebabkan oleh tabung gas. Orang ini akan memaparkan bukti-bukti akurat tentang kasus kebakaran akibat tabung gas dan mengabaikan fakta lain bahwa tetangganya dan puluhan ribu orang lainnya adalah pengguna kompor gas yang sudah bertahun-tahun menyimpan tabung gas di dapurnya. Orang ini akan tetap pada pendiriannya, sekuat apa pun Anda memberikan penjelasan. 

Dalam politik, ketika kita hanya terpapar satu jenis informasi terkait satu kubu politik tertentu, kita akan sulit menerima kebenaran dari kubu politik lainnya. Algoritma  filter bubble memainkan ini dengan sangat baik. Dinding Facebook kita akan dipenuhi berita-berita yang kita senangi.

Jika kita sering membuka dan me-like dan membagikan posting yang menjelekkan satu kubu dalam politik, maka algoritme filter bubble akan mengabulkan itu dan memenuhi dinding Facebook kita dengan informasi dan berita-berita serupa.

Dalam kondisi hanya terpapar satu jenis informasi (kacamata kuda), nalar dan perasaan kita menjadi tidak autentik. Hari-hari kita disuguhi informasi yang membuat kita membenci dan berprasangka buruk terhadap pihak lain. Akibatnya, semua klarifikasi dari pihak lain itu menjadi sia-sia. 

Kita menjadi manusia bigot yang hanya melihat dunia dalam satu sisi saja. 
Di sinilah penyebaran hoax dan fake news menjadi masif dan mendapatkan tempat yang baik di hati banyak orang. Emosi kita telah diaduk-aduk oleh sebuah algoritme bernama filter bubble. Pada tahap ini, kehadiran algoritme filter bubble memperkokoh apa yang disebut sebagai post-truth era atau era pasca-kebenaran.

sumber : qureta.com/nurlinmuhamad

No comments: